Senin, 21 April 2014

Realita Ketergantungan Manusia Terhadap Kelestarian Hutan



Apa yang akan terjadi jika bumi tanpa penghijauan? Apakah manusia maupun makhluk hidup lainnya bisa hidup dengan kualitas hidup yang baik? Saya dan kita semua pasti pernah terpikir bahwa kehidupan orang-orang terdahulu lebih baik, mengingat kondisi alam yang sekarang kita rasakan. Apa yang sebenarnya terjadi?
Dulu, kurang lebih sekitar 10.000 (sepuluh ribu) tahun yang lalu, bumi kita memiliki sumber daya alam yang berkualitas tinggi, dengan jumlah sebaran hutan yang sangat luas yakni sekitar 6,3 milyar ha (hektar). Seiring berjalannya waktu, luas tutupan hutan di bumi telah berkurang hingga sepertiganya, yaitu dari 6,3 milyar ha menjadi 4,2 milyar ha (Maini dan Ullsten dalam Ramakrishna dan Woodwell, 1993). Selama masa itu hingga awal tahun 1960, pengurangan dominan terjadi di daerah boreal dan temperate, terutama di Eropa, Amerika Utara dan Asia Timur (China, Jepang dan Korea). Pengurangan ini dipicu oleh peningkatan jumlah penduduk, kemajuan peradaban, peningkatan kebutuhan lahan pertanian dan peningkatan kebutuhan kayu untuk membangun industri di Eropa dan Amerika Utara serta Australia. Allan dan Lanly (1991) dalam Ramakrishna dan Woodwell, 1993, menyebutkan bahwa saat ini hutan boreal telah stabil, hutan temperate sedikit mengalami peningkatan, namun tidak untuk hutan tropis. Hutan tropis saat ini sedang mengalami tekanan yang sama dengan apa yang dialami oleh hutan temperate dan boreal beberapa abad yang lalu. Tingkat deforestasi hutan di daerah tropis mencapai 17 juta ha/tahun.
Kini kita merasakan dampak dari kesalahan kita dan orang terdahulu kita yang secara sengaja maupun tidak sengaja, menghantarkan kita semua pada kehidupan yang jauh dari kehidupan yang baik. Secara alami, bumi mengalami pergerakan-pergerakan yang mengakibatkan bencana alam. Namun, secara tidak langsung kita percepat dan perbanyak timbulan bencana alam seperti: banjir, kekeringan, gempa bumi, bahkan munculnya berbagai macam penyakit dan jenis-jenis penyakit baru-pun bermunculan. Berbagai permasalahan lingkungan masih tetap terjadi dan bahkan semakin meningkat meskipun Konferensi Lingkungan Hidup di Stockholm telah dilaksanakan pada tahun 1972 lalu. Begitu juga setelah diadakan Konferensi Tingkat Tinggi Bumi (KTT Bumi) atau Earth Summit di Rio de Jeneiro tahun 1992. Sekitar 165 perwakilan masyarakat dunia dari berbagai negara di dunia telah menyepakati suatu komitmen yang dihimpun dalam agenda 21 untuk perbaikan lingkungan. Sayangnya, implementasi komitmen ini tidak begitu maksimal dilaksanakan.
Fenomena kerusakan hutan, seperti kebakaran hutan, penebangan liar, pembukaan lahan industry, pemukiman baru, dan jenis eksploitasi hutan sebagai bahan baku, dan lain sebagainya, baik dalam bentuk deforestasi maupun degradasi terus berjalan. Akibatnya, hutan alam dunia semakin berkurang. Pada tahun 1990-2000, tercatat bahwa hutan dunia secara total hilang sebesar 13,1 juta ha per tahun. Dengan adanya pembangunan hutan tanaman sebesar 4,8 juta ha, maka laju kehilangan bersih hutan pada periode 1990-2000 adalah sebesar 8,9 juta ha pertahun (FAO, 2006). Kemudian setelah diadakannyadiadakan Konferensi Tingkat Tinggi Pembangunan Berkelanjutan di Johannesburg, Afrika Selatan pada tahun 2002 memberi tekanan pada aspek implementasi yang salah satu hasilnya adalah pertambahan jumlah hutan, terutama di China dan Eropa melalui pembangunan hutan tanaman. Pertambahan luas tanaman ini mengoreksi luas bersih kehilangan hutan dunia, yaitu turun menjadi 7,3 juta ha per tahun pada periode 2000-2005. Meskipun demikian, laju deforestasi hutan alam dunia tidak bergerak jauh, tetap berada pada rataan 12,9 juta ha per tahun (FAO, 2006).
Sebelumnya pada tahun 1990 Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) telah mengingatkan adanya ancaman serius terhadap kehidupan manusia di muka bumi, yaitu dengan adanya suatu kondisi perubahan iklim dunia. Ancaman ini dibuktikan dengan gejala kejadian anomali cuaca, kekeringan, banjir dan beberapa dampak turunan lainnya, seperti kelaparan dan meluasnya wabah penyakit. Secara ringkas, perubahan iklim merupakan dampak dari meningkatnya suhu di bumi (global warming-pemanasan global) akibat terperangkapnya panas matahari oleh tumpukan karbon dan gas rumah kaca lainnya di atmosfir. Dalam kaitannya dengan sumberdaya hutan, berkurangnya jumlah hutan dunia (deforestasi) dan turunnya kualitas ekosistem hutan (degradasi) memberi kontribusi yang cukup signifikan. Deforestasi dan degradasi yang dalam Stern Review dikategorikan sebagai LULUCF ini berkontribusi mengemisikan karbon ke atmosfir sebesar 18% dari total emisi karbon ke atmosfir (World Bank, 2010).  LULUCF adalah singkatan dari Land use, land use change and forestry yaitu suatu tindakan atau aktifitas yang menyebabkan perubahan penggunaan lahan hutan, alih guna lahan dan hutan.
Pentingnya keberadaan hutan dan konsep pengelolaannya tidak dapat dipungkiri lagi: bahwa kita manusia dan makhluk hidup lainnya sangat bergantung pada kelestarian hutan. Dimanakita mengetahui bahwa dengan terjaganya kualitas hutan, memberikan banyak dampak positif bagi kelangsungan hidup di bumi, yakni sumber air yang bersih, udara yang segar dan hasil hutan serta tumbuh-tumbuhan yang ada didalamnya yang dapat dijadikan sumber pangan bagi manusia tentunya.
Gardner dan Engelman (1999) menguraikan bahwa setidaknya terdapat sembilan fungsi esensial hutan bagi manusia di bumi. Pertama, Sebagai habitat bagi tumbuhan dan satwa Hutan; Kedua, memberikan jasa untuk pengaturan tata air, iklim, hama dan udara bersih atau menyerap karbon; Ketiga, sebagai tempat hunian atau komunitas bagi banyak masyarakat di sekitarnya yang hidup secara subsistem; Keempat, berfungsi sebagai cadangan lahan untuk pengembangan pertanian, terutama di negara-negara sedang berkembang; Kelima, Sumber energy kayu bakar dan arang; Keenam, Sumber bahan baku kayu; Ketujuh, berfungsi sebagai ekowisata dan rekreasi; kedelapan, berfungsi sebagai perlindungan DAS; dan yang terakhir kesembilan, hutan berfungsi sebagai Sumber bahan baku bukan kayu.
Sikap dan kearifan yang tinggi sangat dibutuhkan oleh manusia dalam mendapatkan keseimbangan antara pemenuhan barang atau jasa dari sembilan fungsi hutan seperti yang disampaikan oleh Sten Nilsson (1996) dalam Gardner dan Engelman (1999) tersebut. Sampai sekarang, belum ada satu teknologi manusia pun yang dapat menggantikan peranan hutan dalam pengaturan tata air, udara bersih dan pengaturan siklus karbon. Tidak terhindarkan bahwa hutan sebagai penyedia jasa lingkungan seperti perlindungan tanah dan air, perlindungan habitat, keanekaragaman jenis flora dan fauna, dan peranannya dalam berbagai siklus ekologis (missal siklus karbon, oksigen, hara, hidrologi, dan siklus klimatik) saat sekarang mendapat perhatian yang lebih serius oleh para ilmuwan dan politisi dibanding hutan dalam fungsi lainnya. Kondisi ini tidak jarang mengiring pada satu pemahaman konservatif belaka yang berusaha mengerucutkan fungsi hutan untuk pemanfaatan jasa lingkungan semata, sehingga memunculkan propaganda yang arogan untuk proteksi berlebihan terhadap hutan, tidak boleh terganggu sama sekali.
Peranan hutan pada keanekaragaman jenis dan perubahan iklim yang dibahas pada pertemuan UNCED, mendapat perdebatan khusus. Dari perspektif politik, isu-isu yang berkembang cenderung terpolarisasi pada empat isu utama. Pertama, komunitas di negara-negara industri, berusaha keras menganjurkan konservasi dan perlindungan terhadap hutan alam yang tersisa, yang dalam hal ini dominan terdapat pada negara sedang berkembang. Sementara itu, komunitas di negara-negara berkembang berpendapat bahwa tingginya sorotan negara-negara industri terhadap deforestasi hutan tropis hampir tidak sebanding dengan besarnya perhatian yang mereka berikan terhadap pencegahan pemanasan global dan kerusakan hutan di Eropa pada era dulu. Komunitas dari negara berkembang menyuarakan bahwa komunitas di negara-negara maju sebagai komunitas yang menyumbang porsi besar terhadap masalah lingkungan pada era dulu harus dapat memberikan perhatian yang sama dalam upaya mengurangi emisi karbon dan penggunaan bahan bakar fosil. Kedua, beberapa Negara berkembang beranggapan bahwa usaha perlindungan dan konservasi hutan tropis akan "mengunci" peluang dan kesempatan dalam pemanfaatan sumberdaya alamnya. Kuncian ini akan berdampak menghalangi kemajuan ekonomi negara berkembang. Ketiga, komitmen negara berkembang untuk mengkonservasi hutan mereka mensyaratkan adanya kontribusi dari negara maju berupa pendanaan dan transfer teknologi, paling tidak sebagai kompensasi keuntungan ekonomi yang hilang. Keempat, negara berkembang mempersoalkan keinginan negara maju untuk memperoleh akses bebas terhadap sumber genetik dan kearifan lokal. Dalam hal ini, negara berkembang mengharapkan agar negara maju membayar akses tersebut, diantara dalam bentuk transfer teknologi.
Pemahaman ini mengantarkan pada suatu teori bahwa kesadaran dan tindakan arif yang diperlukan saat ini tidak semata terkooptasi hanya pada persoalan proteksi dan tindakan konservasi yang ketat untuk mempertahankan keberadaan sisa hutan yang ada. Yang dibutuhkan cenderung kepada peningkatan kesadaran untuk pengelolaan yang lestari, yang diharapkan mampu mencukupi kebutuhan manusia untuk semua barang dan jasa yang dihasilkan dari hutan. Seperti disampaikan oleh Gardner dan Engelman(1999), untuk pencapaian hal tersebut, luas hutan di dunia bahkan sebaiknya harus bertambah. Tindakan-tindakan yang perlu diupayakan adalah antara lain : a). menekan laju kehilangan hutan alam melalui tindakan pengelolaan yang lestari dan ramah lingkungan; yang mana tindakan konservasi adalah bagian dari pengelolaan tersebut, b). upaya rehabilitasi hutan yang terdegradasi serta c) afforestasi dan pembangunan hutan tanaman. Gardner dan Engelman (1999) telah mengidentifikasi beberapa faktor, yang diklasifikasikan sebagai penyebab yang melatar-belakangi dan penyebab langsung kehilangan hutan di dunia, yaitu a). perubahan populasi, baik peningkatan jumlah, perpindahan dan kepadatan penduduk, b) orientasi pertumbuhan ekonomi dan pengentasan kemiskinan, c) kegagalan pasar, dalam hal ini adanya ketidaktepatan mengukur nilai barang dan jasa hutan, serta d) kesalahan kebijakan dalam penetapan harga dan pajak, termasuk diantaranya besarnya subsidi, tarif pungutan dan monopoli (pembatasan) perdagangan.
Berdasarkan data yang diperoleh dari Maini and Ullsten dalam Ramakrishna dan Woodwell, (1993) serta FAO (2005, dalam Global Forest Resourches Assesment tahun 1990, 1995, 2000 dan 2005) dapat dijelaskan bahwa luas hutan dunia terus mengalami penurunan hingga tahun 1995 dan kemudian mengalami fenomena pertambahan luas pada tahun 2000, dan selanjutnya kembali turun secara perlahan memasuki tahun 2005. Fenomena yang sebagai fenomena kurva U ini tidak secara sungguh-sungguh menjadi indikator penting adanya era perbaikan kondisi hutan dunia. Hal ini dapat dijelaskan bahwa luas hutan di dunia pada tahun 1990 adalah 4,077 milyar ha dan terus turun menjadi 3,454 milyar ha pada tahun 1995. Pada dua periode tahun ini, FAO mendefinisikan hutan dengan kriteria yang berbeda dalam menetapkan suatu kawasan sebagai hutan. Untuk negara-negara maju (Eropa, Amerika Utara dan Australia) digunakan batas penutupan lahan minimal 20%, sementara untuk negara sedang berkembang pada batas minimal 10%. Hutan dalam kriteria penutupan lahan dalam hal ini didefinisikan sebagai lahan dengan vegetasi tegakan yang didominasi pohon dengan tinggi minimal 5 meter. Fenomena penambahan jumlah hutan terjadi pada saat penilaian pada tahun 2000. Pada penilaian tahun 2000 tersebut, kriteria batas minimal ini disamakan menjadi 10%. Perubahan kriteria ini mengakibatkan adanya perubahan status hutan di banyak kawasan di negara-negara maju, yang mana sebelumnya tidak didefinisikan sebagai hutan menjadi dinilai sebagai hutan. Hal inilah yang menyebabkan adanya fenomena penambahan luas hutan. Penambahan signifikan terjadi di negara-negara federasi Rusia dan Australia. Pada tahun 1995, federasi Rusia dan Australia dinilai memiliki luas hutan sebesar 764 juta ha dan 41 juta ha. Pada tahun 2000 dua negara maju ini dinilai memiliki luas hutan menjadi 850 juta ha dan 155 juta ha pada. Secara total, perubahan kriteria ini melahirkan suatu fenomena penambahan luas hutan dunia. Pada tahun 2000 ini luas hutan dunia meningkat menjadi 3,989 milyar ha. Penambahan luas hutan akibat perubahan kriteria ini menutupi fenomena lainnya bahwa laju pengurangan hutan di negara-negara sedang berkembang sesungguhnya terus berjalan.
Pada penilaian tahun 2005 menunjukkan bahwa negara-negara maju berhasil melanjutkan tren peningkatan jumlah hutan di negaranya. Fenomena peningkatan tidak sekedar dibantu oleh perubahan kriteria, tetapi dengan beberapa keberhasilannya dalam membangun hutan-hutan tanaman. Sementara itu, di Asia, peningkatan signifikan jumlah hutan terjadi di China, yaitu dengan keberhasilannya membangun hutan-hutan tanaman dan hutan-hutan bambu. Peningkatan jumlah hutan juga terjadi di negara-negara Asia timur lainnya, seperti Jepang dan Korea serta India. Untuk Asia lainnya, bersama Afrika dan Amerika Selatan, tren penurunan jumlah hutan terus terjadi, terutama disebabkan oleh perubahan fungsi hutan alamnya menjadi lahan pertanian atau perkebunan atau karena pengelolaan hutan yang tidak baik. Penurunan terbesar terjadi di Brasil dan Indonesia. Secara total, luas hutan dunia tetap turun. Pada penilaian tahun 2005 jumlah total luas hutan dunia adalah sebesar 3,952 milyar ha.
Total luas hutan dunia pada penilaian tahun 2005 adalah sebesar 3,952 milyar ha atau sama dengan 30% dari total luas daratan dunia. Dengan jumlah populasi sebesar 6,37 milyar jiwa, maka luas hutan per kapita adalah 0,62 ha. Permasalahannya, distribusi hutan berdasarkan negara dan populasi tidak merata. Dua pertiga jumlah hutan dunia terdapat di 10 negara pemilik hutan terbesar. Sekitar 64 negara yang memiliki jumlah populasi 2 milyar jiwa hanya memiliki luas hutan per kapita dibawah 0,1 ha. Sebanyak 57 negara memiliki persentase luas hutan per luas daratannya kurang dari 10%, bahkan 7 negara tidak memiliki hutan sama sekali.
Deforestasi adalah kehilangan hutan yang disebabkan oleh konversi kawasan hutan menjadi lahan pertanian atau perkebunan. Deforestasi terus berjalan dengan rata-rata 13 juta ha per tahun pada periode 2000-2005. Namun di saat bersamaan, pada beberapa negara terdapat pembangunan hutan tanaman dan restorasi beberapa kawasan. Jumlah deforestasi dikurangi dengan jumlah penanaman disebut menghasilkan jumlah bersih kehilangan hutan. Jumlah bersih kehilangan hutan dunia sepanjang tahun 2000-2005 adalah sebesar 7,3 juta ha per tahun, cukup mengalami penurunan dari jumlah bersih kehilangan hutan dunia pada periode 1990-2000, yaitu sebesar 8,9 juta ha per tahun. Jumlah kehilangan hutan terbesar terjadi di Amerika Selatan, sekitar 4,3 juta ha per tahun diikuti oleh Afrika sebesar 4 juta ha per tahun. Di Asia, reboisasi yang dilakukan dalam skala besar di China cukup membantu menutup fakta laju deforestasi yang terjadi Asia Tenggara. Jumlah bersih kehilangan hutan di Asia adalah sebesar 1 juta ha, meningkat dari 800 ribu ha dibanding tahun 1990-an. Di Eropa terjadi pertambahan bersih luas hutannya, walaupun bergerak pelan, yaitu sebesar 661 ribu ha per tahun. Selama periode tahun 2000-2005, lima besar negara dengan jumlah kehilangan bersih hutan per tahun adalah Brasil (3,1 juta ha), Indonesia (1,87 juta ha), Sudan (0,59 juta ha), Myanmar (0,47 juta ha) dan Zambia (0,44 juta ha). Sementara itu, 5 besar negara dengan pertambahan bersih hutannya setiap tahun adalah China (4,05 juta ha), Spanyol (0,3 juta ha), Vietnam (0,24 juta ha), Amerika Serikat (0,16 juta ha) dan Italia (0,11 juta ha).
Gardner dan Engelman (1999) menyatakan bahwa hingga tahun 1995, konsumsi kayu dunia meningkat hingga 60 persen, 1,8 milyar m3  konsumsi untuk kayu bakar dan 1,5 milyar m3 konsumsi untuk industri atau total sebesar 3,3 milyar m3. Diamana konsumsi kayu per kapita selalu berada pada pergeseran tipis antara 0,6 - 0,7 m3 per kapita.
FAO (2005) melaporkan bahwa kayu masih merupakan produk utama dan konsumsi produk non kayu mengalami peningkatan. Sebesar 34% dari total luas hutan dunia dikelola untuk tujuan produksi kayu dan non kayu ini, lebih dari 50% dalam kombinasi pengelolaan bersama untuk tujuan produksi kayu/non kayu beserta pengelolaan fungsi perlindungan tata air, konservasi biodiversitas dan rekreasi. Berbeda dengan Gardner dan Engelman, FAO melaporkan bahwa konsumsi kayu dunia pada tahun 2005 adalah sebesar 3,1 milyar m3. Nilai perdagangannya adalah sebesar $ 64 milyar USA, sementara itu, produk bukan kayu sebesar $ 4,7 milyar USA. Dilaporkan juga bahwa sebanyak 10 juta orang bekerja dalam bidang kehutanan, baik dalam produksi kayu, industri maupun konservasi.
Berbagai konsumsi atau pemanfaatan hutan dalam fungsi-fungsi lain juga menampakkan kemajuan dan peningkatan. Tercatat bahwa seluas 348 juta ha kawasan hutan telah difungsikan sebagai hutan lindung untuk tujuan pengaturan air dan pengendalian erosi. Proporsi penggunaan kawasan untuk hutan lindung ini menunjukkan peningkatan, yaitu dari 8% pada tahun 1990 menjadi 9% pada tahun 2005. Sementara itu, hutan konservasi telah meliputi 11% dari luas kawasan hutan dunia. Penggunaan hutan untuk tujuan rekreasi dan pendidikan juga mengalami peningkatan, namun sayang sulit mengestimasikan angkanya.
Sebagai penutup dapat dikatakan bahwa perhatian dunia tentang pentingnya keberadaan hutan telah menunjukkan suatu perbaikan, namun demikian dapat dikatakan implementasi penting dalam pengelolaannya masih tertinggal dan meninggalkan suatu pertanyaan dan tantangan besar untuk pencapaian pengelolaan hutan yang proporsional dan berkelanjutan. Adanya tren peningkatan kebutuhan terhadap barang dan jasa yang dihasilkan dari hutan oleh manusia mengharuskan manusia untuk bertindak lebih arif dalam pengelolaan sumberdaya hutan. Deforestasi hutan alam harus dapat ditekan dan sebaliknya pembangunan hutan-hutan baru harus dapat diupayakan untuk pemenuhan kebutuhan barang dan jasa bagi manusia.

DAFTAR PUSTAKA

FAO. 1991. Global Forest Resources Assessment 1990. Food and Agriculture Organization of United Nations, Rome.
FAO. 1996. Global Forest Resources Assessment 1995. Food and Agriculture Organization of United Nations, Rome.
FAO. 2001. Global Forest Resources Assessment 2000. Food and Agriculture Organization of United Nations, Rome.
FAO. 2006. Global Forest Resources Assessment 2005. Food and Agriculture Organization of United Nations, Rome.
Gardner, T. and R. Engelman. 1999. Forest Future : Population, Consumption and Wood Resources. Population Action International, Washington D.C.
Ramakrishna, K and G, M. Woodwell (editors). 1993. World Forest for The Fiture : Their Use and Conservation. Yale University Press, New Haven and London.
Worldbank. 2010. Stern Review: The Economics of Climate Change. www.worldbank.org/ SternReviewEng.pdf.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar