Apa yang akan terjadi
jika bumi tanpa penghijauan? Apakah manusia maupun makhluk hidup lainnya bisa
hidup dengan kualitas hidup yang baik? Saya dan kita semua pasti pernah
terpikir bahwa kehidupan orang-orang terdahulu lebih baik, mengingat kondisi
alam yang sekarang kita rasakan. Apa yang sebenarnya terjadi?
Dulu,
kurang lebih sekitar 10.000 (sepuluh
ribu) tahun yang lalu, bumi kita memiliki sumber daya alam yang berkualitas
tinggi, dengan jumlah sebaran hutan yang sangat luas yakni sekitar 6,3 milyar
ha (hektar). Seiring berjalannya waktu, luas tutupan hutan di bumi telah
berkurang hingga sepertiganya, yaitu dari 6,3 milyar ha menjadi 4,2 milyar ha
(Maini dan Ullsten dalam Ramakrishna dan Woodwell, 1993). Selama masa itu
hingga awal tahun 1960, pengurangan dominan terjadi di daerah boreal dan
temperate, terutama di Eropa, Amerika Utara dan Asia Timur (China, Jepang dan
Korea). Pengurangan ini dipicu oleh peningkatan jumlah penduduk, kemajuan
peradaban, peningkatan kebutuhan lahan pertanian dan peningkatan kebutuhan kayu
untuk membangun industri di Eropa dan Amerika Utara serta Australia. Allan dan
Lanly (1991) dalam Ramakrishna dan Woodwell, 1993, menyebutkan bahwa saat ini
hutan boreal telah stabil, hutan temperate sedikit mengalami peningkatan, namun
tidak untuk hutan tropis. Hutan tropis saat ini sedang mengalami tekanan yang
sama dengan apa yang dialami oleh hutan temperate dan boreal beberapa abad yang
lalu. Tingkat deforestasi hutan di daerah tropis mencapai 17 juta ha/tahun.
Kini
kita merasakan dampak dari kesalahan kita dan orang terdahulu kita yang secara
sengaja maupun tidak sengaja, menghantarkan kita semua pada kehidupan yang jauh
dari kehidupan yang baik. Secara alami, bumi mengalami pergerakan-pergerakan
yang mengakibatkan bencana alam. Namun, secara tidak langsung kita percepat dan
perbanyak timbulan bencana alam seperti: banjir, kekeringan, gempa bumi, bahkan
munculnya berbagai macam penyakit dan jenis-jenis penyakit baru-pun
bermunculan. Berbagai permasalahan lingkungan masih
tetap terjadi dan bahkan semakin meningkat meskipun Konferensi Lingkungan Hidup
di Stockholm telah dilaksanakan pada tahun 1972 lalu. Begitu juga setelah
diadakan Konferensi Tingkat Tinggi Bumi (KTT Bumi) atau Earth Summit di
Rio de Jeneiro tahun 1992. Sekitar 165 perwakilan masyarakat dunia dari
berbagai negara di dunia telah menyepakati suatu komitmen yang dihimpun dalam
agenda 21 untuk perbaikan lingkungan. Sayangnya, implementasi komitmen ini
tidak begitu maksimal dilaksanakan.
Fenomena kerusakan hutan,
seperti kebakaran hutan, penebangan liar, pembukaan lahan industry, pemukiman
baru, dan jenis eksploitasi hutan sebagai bahan baku, dan lain sebagainya, baik
dalam bentuk deforestasi maupun degradasi terus berjalan. Akibatnya, hutan alam
dunia semakin berkurang. Pada tahun 1990-2000, tercatat bahwa hutan dunia
secara total hilang sebesar 13,1 juta ha per tahun. Dengan adanya pembangunan
hutan tanaman sebesar 4,8 juta ha, maka laju kehilangan bersih hutan pada
periode 1990-2000 adalah sebesar 8,9 juta ha pertahun (FAO, 2006). Kemudian
setelah diadakannyadiadakan Konferensi Tingkat Tinggi Pembangunan Berkelanjutan
di Johannesburg, Afrika Selatan pada tahun 2002 memberi tekanan pada aspek
implementasi yang salah satu hasilnya adalah pertambahan jumlah hutan, terutama
di China dan Eropa melalui pembangunan hutan tanaman. Pertambahan luas tanaman
ini mengoreksi luas bersih kehilangan hutan dunia, yaitu turun menjadi 7,3 juta
ha per tahun pada periode 2000-2005. Meskipun demikian, laju deforestasi hutan
alam dunia tidak bergerak jauh, tetap berada pada rataan 12,9 juta ha per tahun
(FAO, 2006).
Sebelumnya pada tahun 1990 Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) telah mengingatkan adanya ancaman serius terhadap
kehidupan manusia di muka bumi, yaitu dengan adanya suatu kondisi perubahan
iklim dunia. Ancaman ini dibuktikan dengan gejala kejadian anomali cuaca,
kekeringan, banjir dan beberapa dampak turunan lainnya, seperti kelaparan dan
meluasnya wabah penyakit. Secara ringkas, perubahan iklim merupakan dampak dari
meningkatnya suhu di bumi (global warming-pemanasan global) akibat terperangkapnya panas matahari oleh tumpukan
karbon dan gas rumah kaca lainnya di atmosfir. Dalam kaitannya dengan
sumberdaya hutan, berkurangnya jumlah hutan dunia (deforestasi) dan turunnya
kualitas ekosistem hutan (degradasi) memberi kontribusi yang cukup signifikan.
Deforestasi dan degradasi yang dalam Stern Review dikategorikan sebagai LULUCF ini berkontribusi mengemisikan
karbon ke atmosfir sebesar 18% dari total emisi karbon ke atmosfir (World Bank,
2010). LULUCF adalah singkatan dari Land use, land use change and forestry yaitu
suatu tindakan atau aktifitas yang menyebabkan perubahan penggunaan lahan
hutan, alih guna lahan dan hutan.
Pentingnya keberadaan hutan dan
konsep pengelolaannya tidak dapat dipungkiri lagi: bahwa kita manusia dan
makhluk hidup lainnya sangat bergantung pada kelestarian hutan. Dimanakita
mengetahui bahwa dengan terjaganya kualitas hutan, memberikan banyak dampak
positif bagi kelangsungan hidup di bumi, yakni sumber air yang bersih, udara
yang segar dan hasil hutan serta tumbuh-tumbuhan yang ada didalamnya yang dapat
dijadikan sumber pangan bagi manusia tentunya.
Gardner dan Engelman (1999)
menguraikan bahwa setidaknya terdapat sembilan fungsi esensial hutan bagi
manusia di bumi. Pertama, Sebagai
habitat bagi tumbuhan dan satwa Hutan; Kedua,
memberikan jasa untuk pengaturan tata air, iklim, hama dan udara bersih atau
menyerap karbon; Ketiga, sebagai
tempat hunian atau komunitas bagi banyak masyarakat di sekitarnya yang hidup
secara subsistem; Keempat, berfungsi
sebagai cadangan lahan untuk pengembangan pertanian, terutama di negara-negara
sedang berkembang; Kelima, Sumber energy
kayu bakar dan arang; Keenam, Sumber
bahan baku kayu; Ketujuh, berfungsi
sebagai ekowisata dan rekreasi; kedelapan,
berfungsi sebagai perlindungan DAS; dan yang terakhir kesembilan, hutan berfungsi sebagai Sumber bahan baku bukan kayu.
Sikap dan kearifan yang
tinggi sangat dibutuhkan oleh manusia dalam mendapatkan keseimbangan antara
pemenuhan barang atau jasa dari sembilan fungsi hutan seperti yang disampaikan
oleh Sten Nilsson (1996) dalam Gardner dan Engelman (1999) tersebut. Sampai
sekarang, belum ada satu teknologi manusia pun yang dapat menggantikan peranan
hutan dalam pengaturan tata air, udara bersih dan pengaturan siklus karbon. Tidak
terhindarkan bahwa hutan sebagai penyedia jasa lingkungan seperti perlindungan
tanah dan air, perlindungan habitat, keanekaragaman jenis flora dan fauna, dan
peranannya dalam berbagai siklus ekologis (missal siklus karbon, oksigen, hara,
hidrologi, dan siklus klimatik) saat sekarang mendapat perhatian yang lebih
serius oleh para ilmuwan dan politisi dibanding hutan dalam fungsi lainnya.
Kondisi ini tidak jarang mengiring pada satu pemahaman konservatif belaka yang
berusaha mengerucutkan fungsi hutan untuk pemanfaatan jasa lingkungan semata,
sehingga memunculkan propaganda yang arogan untuk proteksi berlebihan terhadap
hutan, tidak boleh terganggu sama sekali.
Peranan hutan pada
keanekaragaman jenis dan perubahan iklim yang dibahas pada pertemuan UNCED,
mendapat perdebatan khusus. Dari perspektif politik, isu-isu yang berkembang
cenderung terpolarisasi pada empat isu utama. Pertama, komunitas di negara-negara
industri, berusaha keras menganjurkan konservasi dan perlindungan terhadap
hutan alam yang tersisa, yang dalam hal ini dominan terdapat pada negara sedang
berkembang. Sementara itu, komunitas di negara-negara berkembang berpendapat
bahwa tingginya sorotan negara-negara industri terhadap deforestasi hutan
tropis hampir tidak sebanding dengan besarnya perhatian yang mereka berikan
terhadap pencegahan pemanasan global dan kerusakan hutan di Eropa pada era
dulu. Komunitas dari negara berkembang menyuarakan bahwa komunitas di
negara-negara maju sebagai komunitas yang menyumbang porsi besar terhadap
masalah lingkungan pada era dulu harus dapat memberikan perhatian yang sama
dalam upaya mengurangi emisi karbon dan penggunaan bahan bakar fosil. Kedua, beberapa Negara berkembang
beranggapan bahwa usaha perlindungan dan konservasi hutan tropis akan
"mengunci" peluang dan kesempatan dalam pemanfaatan sumberdaya alamnya.
Kuncian ini akan berdampak menghalangi kemajuan ekonomi negara berkembang. Ketiga, komitmen negara berkembang
untuk mengkonservasi hutan mereka mensyaratkan adanya kontribusi dari negara
maju berupa pendanaan dan transfer teknologi, paling tidak sebagai kompensasi keuntungan
ekonomi yang hilang. Keempat, negara berkembang mempersoalkan keinginan negara maju untuk
memperoleh akses bebas terhadap sumber genetik dan kearifan lokal. Dalam hal
ini, negara berkembang mengharapkan agar negara maju membayar akses tersebut,
diantara dalam bentuk transfer teknologi.
Pemahaman ini mengantarkan
pada suatu teori bahwa kesadaran dan tindakan arif yang diperlukan saat ini
tidak semata terkooptasi hanya pada persoalan proteksi dan tindakan konservasi
yang ketat untuk mempertahankan keberadaan sisa hutan yang ada. Yang dibutuhkan
cenderung kepada peningkatan kesadaran untuk pengelolaan yang lestari, yang
diharapkan mampu mencukupi kebutuhan manusia untuk semua barang dan jasa yang dihasilkan
dari hutan. Seperti disampaikan oleh Gardner dan Engelman(1999), untuk
pencapaian hal tersebut, luas hutan di dunia bahkan sebaiknya harus bertambah.
Tindakan-tindakan yang perlu diupayakan adalah antara lain : a). menekan laju
kehilangan hutan alam melalui tindakan pengelolaan yang lestari dan ramah
lingkungan; yang mana tindakan konservasi adalah bagian dari pengelolaan
tersebut, b). upaya rehabilitasi hutan yang terdegradasi serta c) afforestasi
dan pembangunan hutan tanaman. Gardner dan Engelman (1999) telah
mengidentifikasi beberapa faktor, yang diklasifikasikan sebagai penyebab yang
melatar-belakangi dan penyebab langsung kehilangan hutan di dunia, yaitu a).
perubahan populasi, baik peningkatan jumlah, perpindahan dan kepadatan
penduduk, b) orientasi pertumbuhan ekonomi dan pengentasan kemiskinan, c)
kegagalan pasar, dalam hal ini adanya ketidaktepatan mengukur nilai barang dan
jasa hutan, serta d) kesalahan kebijakan dalam penetapan harga dan pajak,
termasuk diantaranya besarnya subsidi, tarif pungutan dan monopoli (pembatasan)
perdagangan.
Berdasarkan data yang
diperoleh dari Maini and Ullsten dalam Ramakrishna dan Woodwell,
(1993) serta FAO (2005, dalam Global Forest Resourches Assesment tahun 1990, 1995, 2000 dan
2005) dapat dijelaskan bahwa luas hutan dunia terus
mengalami penurunan hingga tahun 1995 dan kemudian mengalami fenomena
pertambahan luas pada tahun 2000, dan selanjutnya kembali turun
secara perlahan memasuki tahun 2005. Fenomena yang sebagai fenomena kurva U ini
tidak secara sungguh-sungguh menjadi indikator penting adanya era perbaikan
kondisi hutan
dunia. Hal ini dapat dijelaskan bahwa luas hutan di dunia pada tahun 1990
adalah 4,077 milyar ha dan terus turun menjadi 3,454 milyar ha pada tahun
1995. Pada dua periode tahun ini, FAO mendefinisikan hutan dengan kriteria
yang berbeda dalam menetapkan suatu kawasan sebagai hutan. Untuk negara-negara
maju (Eropa, Amerika Utara dan Australia) digunakan batas penutupan
lahan minimal 20%, sementara untuk negara sedang berkembang pada
batas minimal 10%. Hutan dalam kriteria penutupan lahan dalam hal ini didefinisikan
sebagai lahan dengan vegetasi tegakan yang didominasi pohon dengan
tinggi minimal 5 meter. Fenomena penambahan jumlah hutan terjadi pada
saat penilaian pada tahun 2000. Pada penilaian tahun 2000 tersebut, kriteria
batas minimal ini disamakan menjadi 10%. Perubahan kriteria ini mengakibatkan
adanya perubahan status hutan di banyak kawasan di negara-negara
maju, yang mana sebelumnya tidak didefinisikan sebagai hutan menjadi
dinilai sebagai hutan. Hal inilah yang menyebabkan adanya fenomena penambahan
luas hutan. Penambahan signifikan terjadi di negara-negara federasi
Rusia dan Australia. Pada tahun 1995, federasi Rusia dan Australia dinilai
memiliki luas hutan sebesar 764 juta ha dan 41 juta ha. Pada tahun 2000 dua
negara maju ini dinilai memiliki luas hutan menjadi 850 juta ha dan 155 juta ha
pada. Secara total, perubahan kriteria ini melahirkan suatu fenomena penambahan
luas hutan dunia. Pada tahun 2000 ini luas hutan dunia meningkat menjadi 3,989
milyar ha. Penambahan luas hutan akibat perubahan kriteria ini menutupi
fenomena lainnya bahwa laju pengurangan hutan di negara-negara sedang
berkembang sesungguhnya terus berjalan.
Pada penilaian tahun 2005
menunjukkan bahwa negara-negara maju berhasil melanjutkan tren peningkatan
jumlah hutan di negaranya. Fenomena peningkatan tidak sekedar dibantu oleh
perubahan kriteria, tetapi dengan beberapa keberhasilannya dalam membangun
hutan-hutan tanaman. Sementara itu, di Asia, peningkatan signifikan jumlah
hutan terjadi di China, yaitu dengan keberhasilannya membangun hutan-hutan
tanaman dan hutan-hutan bambu. Peningkatan jumlah hutan juga terjadi di
negara-negara Asia timur lainnya, seperti Jepang dan Korea serta India. Untuk
Asia lainnya, bersama Afrika dan Amerika Selatan, tren penurunan jumlah hutan
terus terjadi, terutama disebabkan oleh perubahan fungsi hutan alamnya menjadi lahan
pertanian atau perkebunan atau karena pengelolaan hutan yang tidak baik.
Penurunan terbesar terjadi di Brasil dan Indonesia. Secara total, luas hutan
dunia tetap turun. Pada penilaian tahun 2005 jumlah total luas hutan dunia
adalah sebesar 3,952 milyar ha.
Total luas hutan dunia pada
penilaian tahun 2005 adalah sebesar 3,952 milyar ha atau sama dengan 30% dari
total luas daratan dunia. Dengan jumlah populasi sebesar 6,37 milyar jiwa, maka
luas hutan per kapita adalah 0,62 ha. Permasalahannya, distribusi hutan
berdasarkan negara dan populasi tidak merata. Dua pertiga jumlah hutan dunia
terdapat di 10 negara pemilik hutan terbesar. Sekitar 64 negara yang memiliki
jumlah populasi 2 milyar jiwa hanya memiliki luas hutan per kapita dibawah 0,1
ha. Sebanyak 57 negara memiliki persentase luas hutan per luas daratannya
kurang dari 10%, bahkan 7 negara tidak memiliki hutan sama sekali.
Deforestasi adalah kehilangan
hutan yang disebabkan oleh konversi kawasan hutan menjadi lahan pertanian atau
perkebunan. Deforestasi terus berjalan dengan rata-rata 13 juta ha per tahun
pada periode 2000-2005. Namun di saat bersamaan, pada beberapa negara terdapat
pembangunan hutan tanaman dan restorasi beberapa kawasan. Jumlah deforestasi
dikurangi dengan jumlah penanaman disebut menghasilkan jumlah bersih kehilangan
hutan. Jumlah bersih kehilangan hutan dunia sepanjang tahun 2000-2005 adalah sebesar
7,3 juta ha per tahun, cukup mengalami penurunan dari jumlah bersih kehilangan
hutan dunia pada periode 1990-2000, yaitu sebesar 8,9 juta ha per tahun. Jumlah
kehilangan hutan terbesar terjadi di Amerika Selatan, sekitar 4,3 juta ha per
tahun diikuti oleh Afrika sebesar 4 juta ha per tahun. Di Asia, reboisasi yang
dilakukan dalam skala besar di China cukup membantu menutup fakta laju
deforestasi yang terjadi Asia Tenggara. Jumlah bersih kehilangan hutan di Asia
adalah sebesar 1 juta ha, meningkat dari 800 ribu ha dibanding tahun 1990-an.
Di Eropa terjadi pertambahan bersih luas hutannya, walaupun bergerak pelan,
yaitu sebesar 661 ribu ha per tahun. Selama periode tahun 2000-2005, lima besar
negara dengan jumlah kehilangan bersih hutan per tahun adalah Brasil (3,1 juta
ha), Indonesia (1,87 juta ha), Sudan (0,59 juta ha), Myanmar (0,47 juta ha) dan
Zambia (0,44 juta ha). Sementara itu, 5 besar negara dengan pertambahan bersih
hutannya setiap tahun adalah China (4,05 juta ha), Spanyol (0,3 juta ha),
Vietnam (0,24 juta ha), Amerika Serikat (0,16 juta ha) dan Italia (0,11 juta
ha).
Gardner dan Engelman (1999)
menyatakan bahwa hingga tahun 1995, konsumsi kayu dunia meningkat hingga 60
persen, 1,8 milyar m3 konsumsi untuk kayu bakar dan 1,5 milyar m3 konsumsi untuk industri atau total sebesar 3,3 milyar m3. Diamana konsumsi kayu per kapita selalu berada pada pergeseran
tipis antara 0,6 - 0,7 m3 per kapita.
FAO (2005) melaporkan bahwa
kayu masih merupakan produk utama dan konsumsi produk non kayu mengalami
peningkatan. Sebesar 34% dari total luas hutan dunia dikelola untuk tujuan
produksi kayu dan non kayu ini, lebih dari 50% dalam kombinasi pengelolaan
bersama untuk tujuan produksi kayu/non kayu beserta pengelolaan fungsi
perlindungan tata air, konservasi biodiversitas dan rekreasi. Berbeda dengan
Gardner dan Engelman, FAO melaporkan bahwa konsumsi kayu dunia pada tahun 2005
adalah sebesar 3,1 milyar m3. Nilai perdagangannya adalah
sebesar $ 64 milyar USA, sementara itu, produk bukan kayu sebesar $ 4,7 milyar
USA. Dilaporkan juga bahwa sebanyak 10 juta orang bekerja dalam bidang
kehutanan, baik dalam produksi kayu, industri maupun konservasi.
Berbagai konsumsi atau
pemanfaatan hutan dalam fungsi-fungsi lain juga menampakkan kemajuan dan
peningkatan. Tercatat bahwa seluas 348 juta ha kawasan hutan telah difungsikan
sebagai hutan lindung untuk tujuan pengaturan air dan pengendalian erosi.
Proporsi penggunaan kawasan untuk hutan lindung ini menunjukkan peningkatan,
yaitu dari 8% pada tahun 1990 menjadi 9% pada tahun 2005. Sementara itu, hutan
konservasi telah meliputi 11% dari luas kawasan hutan dunia. Penggunaan hutan
untuk tujuan rekreasi dan pendidikan juga mengalami peningkatan, namun sayang
sulit mengestimasikan angkanya.
Sebagai penutup dapat
dikatakan bahwa perhatian dunia tentang pentingnya keberadaan hutan telah
menunjukkan suatu perbaikan, namun demikian dapat dikatakan implementasi
penting dalam pengelolaannya masih tertinggal dan meninggalkan suatu pertanyaan
dan tantangan besar untuk pencapaian pengelolaan hutan yang proporsional dan
berkelanjutan. Adanya tren peningkatan kebutuhan terhadap barang dan jasa yang
dihasilkan dari hutan oleh manusia mengharuskan manusia untuk bertindak lebih
arif dalam pengelolaan sumberdaya hutan. Deforestasi hutan alam harus dapat
ditekan dan sebaliknya pembangunan hutan-hutan baru harus dapat diupayakan
untuk pemenuhan kebutuhan barang dan jasa bagi manusia.
DAFTAR PUSTAKA
FAO.
1991. Global Forest Resources Assessment 1990. Food and Agriculture Organization
of United Nations, Rome.
FAO.
1996. Global Forest Resources Assessment 1995. Food and Agriculture Organization
of United Nations, Rome.
FAO.
2001. Global Forest Resources Assessment 2000. Food and Agriculture Organization
of United Nations, Rome.
FAO.
2006. Global Forest Resources Assessment 2005. Food and Agriculture Organization
of United Nations, Rome.
Gardner,
T. and R. Engelman. 1999. Forest Future : Population, Consumption and Wood
Resources. Population Action International, Washington D.C.
Ramakrishna,
K and G, M. Woodwell (editors). 1993. World Forest for The Fiture : Their Use
and Conservation. Yale University Press, New Haven and London.
Worldbank.
2010. Stern Review: The Economics of Climate Change. www.worldbank.org/ SternReviewEng.pdf.